Tuesday, July 30, 2013

Yang Bagus atau Yang Bahagia?

“Kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?”
“Saya mau jadi ini!”
“Kalau kamu?”
“Saya mau jadi itu.”

Percakapan seperti ini pasti sangat familiar buat kita semua. Waktu kita kecil pasti kita pernah ditanya dan bertanya, oleh dan kepada teman-teman kita, tentang akan jadi apa nanti kita jika sudah besar. Cita-cita kita. Orang-orang tua kita juga sering bertanya kepada kita. Entah itu bertujuan serius, atau hanya bercakap-cakap semata dengan anaknya.

Jawaban-jawaban kita waktu kecil umumnya tidak jauh-jauh dari profesi-profesi yang bisa dikatakan cukup populer. Menjadi ini, menjadi itu. Profesi yang bergengsi. Profesi yang utama. Profesi yang populer. Profesi yang akhirnya disahkan sebagai profesi yang bagus.

Tanpa kita sadari sebenarnya hal ini terbawa hingga kita dewasa. Profesi yang kita ingin dapatkan seolah sudah menjadi mindset di kepala kita adalah profesi yang seperti disebut di atas. Yang seolah secara tradisi adalah profesi yang harus kita ambil. Profesi bagus menurut hampir seluruh masyarakat bukan hanya masyarakat di negara kita, tapi di seluruh dunia.

Belum lagi, jika kita termasuk anak-anak yang terdidik oleh mereka yang tergolong oleh orang-orang tua yang keras mendidik anaknya sedari kecil. Dan ketika dewasa menuntut anaknya untuk menjadi seseorang dengan profesi tertentu, yang sesuai dengan kriteria bagaimana profesi bagus itu menurut mereka.

Ketika kita kecil, kita harus jadi rangking pertama. Kalau tidak, kita takutnya luar biasa. Takut nanti orang tua kita marah. Ketika kita kuliah, jurusan yang kita ambil adalah jurusan dimana orang tua kita pasti senang. Ketika kita lulus kuliah dan berburu pekerjaan, sudah pasti kita akan cari pekerjaan yang akan membuat orang tua kita senang. Ya profesi yang dianggap bergengsi, utama, populer, dan yang seolah sudah mendapatkan pengesahan dari seluruh masyarakat sebagai profesi yang bagus itu tadi.

Ini yang akhirnya kita jadikan alasan untuk memiliki profesi tertentu. Kita lantas seolah saling berlomba, bersaing ketat untuk mendapatkan profesi-profesi tersebut. Jika ada sebuah lowongan pekerjaan pada sebuah pameran, maka stand yang paling ramai adalah yang stand untuk profesi-profesi yang populer. Kelas-kelas di universitas lebih ramai peminatnya pada fakultas-fakultas tersebut.

Sebenarnya ada yang jauh lebih penting dari ini semua. Yaitu apakah kita bahagia? Apakah kita bahagia memiliki profesi-profesi ini? Apakah kita memiliki profesi yang kita miliki atau yang mungkin masih kita cari selama ini adalah karena kita memang menginginkannya? Atau karena alasan-alasan di atas?

Kalau kita memang kebetulan suka dengan profesi yang  dengan anggapan masyarakat pada umumnya adalah profesi yang bagus dan sebagainya yang seperti di atas, ya sudahlah. Berarti pas! Berarti tidak ada masalah dengan itu. Toh dari kita sendiri memang suka. Tetapi lain halnya jika kita terpaksa berprofesi itu dan yang lebih parah adalah, kita bahkan tidak tahu apa yang kita inginkan. Termasuk profesi apa yang kita inginkan. Kita menjalankannya ya karena memang profesi itu bagus saja. That’s it.

Menjalankan profesi bukan artinya kita membudaki diri sendiri. Passion kita adalah di satu bidang tertentu, tetapi yang kita kerjakan sama sekali berbeda. Atau kita bahkan tidak tahu apa passion kita, karena selama ini mindset kita sudah dengan profesi yang kita punya haruslah yang begini atau yang begitu.

Marilah kita mulai mempertanyakan ke diri kita sendiri, apa yang kita rasakan tentang profesi kita. Apakah kita merasa senang dengan itu atau kita terpaksa menjalankannya atau bahkan kita tidak tahu lagi harus bagaimana. Toh memang sudah begini yang seharusnya, kita pikir.

Mencari pekerjaan bukan hanya tentang bagaimana pekerjaan itu di mata masyarakat, orang tua kita, dan siapapun juga itu beranggapan. Tapi tentang bagaimana rasa yang kita punya. Pekerjaan itu tidak cukup dengan anggapan bagus. Tapi juga apakah pekerjaan itu membuat kita bahagia atau tidak. Tidak ada salahnya jika profesi tersebut sama sekali tidak populer tetapi kita bahagia di situ.

Rasanya akan sangat berbeda sekali jika kita menjalankan pekerjaan kita karena kita memang bahagia dengan pekerjaan kita itu. Karena di situlah passion kita berada. Bagaikan melakukan apa yang kita suka, tetapi kita menghasilkan uang pula dari situ.

Tentunya ini bukan bermaksud anti-mainstream, ya. Memiliki pekerjaan yang populer dan hampir semua orang berlomba-lomba mendapatkannya dan semua orang di seluruh dunia menganggapnya sebagai pekerjaan yang bagus tentunya boleh-boleh saja. Kita tidak harus menolak pekerjaan yang banyak peminatnya. Tapi sangatlah sehat jika kita menyadari alasan paling penting yang kita miliki saat mencari pekerjaan.

Anyway, tulisan ini tidak bermaksud untuk bilang bahwa kita akan sengsara jika memilih profesi yang selama ini, -karena banyak peminatnya-, yang lantas seolah sudah merupakan tradisi telah dianggap sebagai profesi yang ‘bergengsi’, 'utama', ‘populer’, atau akhirnya disebut sebagai profesi yang ‘bagus’.  Tapi di sisi lain, pekerjaan yang ‘happy’, yang sesuai passion kita, juga tidak harus menuntut kita, saya, anda untuk membuang jauh impian dalam mendapatkan kekayaan, kesejahteraan, atau mungkin, kekuasaan.

Yuk, kita belajar untuk menempatkan pentingnya menemukan yang apa yang benar-benar pas buat kita. Karena kenapa tidak? Toh, justru ini yang dilakukan oleh mereka yang mempekerjakan orang. :)

Tulisan ini diinspirasi dan tereferensi dari beberapa artikel.

Wednesday, August 1, 2012

What? Just Kidding? Well, Knock It Off. It's Not Funny

Semua orang umumnya pasti suka bercanda. Kalo lagi ngumpul, kalo lagi di kantor, kalo lagi manapun. Biar suasana jadi lebih santai. Begitu katanya. Saling ngelempar joke, saling ngeledek, saling ngatain, dan sebagainya. Ada yg di posisi sebagai tukang ngeledek, ada juga yg di posisi selalu jadi objek penderitaan. Ya, apapun itu sebenernya semuanya ga pernah sungguh2 untuk mengatakan yg menyakitkan hati ya. Semua hanya untuk seneng2 aja. Untuk bercanda aja. Semua ketawa, semua senang.

Biasanya ada kata2 kita dalam bercanda yg bisa diterima, ada juga yg engga. Tentunya ini masing2 orang berbeda apa yg bikin mereka bisa menerima bercandaan dan yg ga bisa mereka terima. Ada yg suka nyimpen dalam hati aja kalo mereka ga suka atau ga terima, ada juga yg jelas2 menyampaikannya. Sebagian suka dengan mengatakan langsung, tapi yg lainnya langsung mengambil sikap menjauh. Jaga jarak. Dan ada juga yg malah hanya diam tapi berharap bahwa bercandaan yg ga dia sukai itu ga diulangi lagi.

Ya, bercandaan yg emang ga pernah bertujuan menyakitkan itu sebenernya justru bisa sangat menyakitkan lho. Orang selalu bilang kalo misalnya ada yg tersinggung sama bercandaan, “Sori, gue kan cuma bercanda.” Atau yg ngeselin, udah ngomong seenaknya lalu  bilang, “…piss.” Percayalah, orang yg dibercandain itu udah tau kalo itu bercanda. Jangan anggap orang yg sedang kita bercandain itu ga ngerti kalo itu bercanda. Mereka itu ga bego. Justru yg mungkin bego itu kita, kok ya bisa2nya kita bercandain hal2 yg menyakitkan buat mereka. Dan akhirnya kita seolah segampang itu bilang, sori atau that stupid 'piss'.


Oke, mungkin kita ga tau kalo apa yg kita bercandain itu menyakitkan. Sebenernya informasi kalo mereka tersinggung itu ada lho. Sayangnya sebagian dari kita itu suka ga jeli atau mungkin sangat tau tapi ga mau tau. Misalnya ekspresi wajah. Kalo kita ngomong sesuatu yg tentunya kita tadinya ga tau kalo itu menyakitkan lantas yg kita sebut itu membuat ekspresinya berubah, harusnya segera tau. “Oh, dia ga nyaman kalo kita bercanda seperti itu.”

Ini mungkin akan mereka tutupi dengan ketawa. Tapi jelas beda ketawanya. Ketawa maksa gitu lah. Nah, ini mungkin seperti yg gue bilang di atas adalah mereka yg ga suka menyampaikan apa yg mereka rasakan. Dan pastinya, mereka mengharap kita ga pernah lagi mau ngomong atau bercandain soal yg satu itu.

Untuk yg satu ini, emang kadang kita bisa aja ga tau. Ya,untuk mereka yg mungkin pernah kita sakiti tanpa kita sadari lewat bercandaan ini mudah2an sih dimaafkan. Tapi kan ada juga yg sangat jelas menunjukkannya. Ya mereka yg marah. Entah marahnya hanya nyampein kalo dia ga suka, atau malah ekstrim. Ya jadi marah2 tentunya.


Kalo udah gini, kita jangan lantas melabelkan orang itu sebagai orang yg sensitif. “Ih, sensi banget sih!” dengan enaknya kita bilang gitu. Salah besar! Ini bukan masalah orangnya yg sensitif. Tapi kitanya yg harusnya lebih ngerti lagi. Cobalah untuk memposisikan diri sebagai orang yg baru aja mendengar kata2 yg menyakitkan. Ga enak kan? Atau mungkin kita lantas mempredikati dia sebagai orang yg ga bisa diajak bercanda. Halooo…!? Dari kemaren dia bercanda melulu sama kita lho! Pas kita ngomong soal yg satu itu dia lantas marah kok kita bilang dia ga bisa diajak bercanda?? Mereka juga tau lho itu bercanda. Bukan bener2 serius menghina. Mereka ga bego lho! Malah harusnya kita tau siapa yg bego kalo udah begini.

Semua orang punya hal sensitif -nya masing2. Buat si A dibilang begini begitu yg ada hubungannya dengan itu dan ini tuh ga masalah banget. Tapi engga buat si B. Begitu juga buat si C, kalo kita mau ngomong soal yg ada hubungannya dengan ini itu, dia lantas marah. Tapi si D, ya asik2 aja. Ga bisa kita samaratakan orang. Kitalah yg insensitive kalo seandainya kita tau sesuatu yg sangat sensitive buat orang lain tapi kita tetep jadiin itu sebagai bahan bercandaan. Itu satu. Insensitive. Nah udah insensitive, kita nuduh orang pula. Nuduh kalo mereka ga bisa diajak bercanda. Nuduh orang lain itu sensi.


Dan yg paling parah adalah, udah jelas2 orang yg tersinggung itu ngasih tau kalo dia itu tersinggung kalo kita bercandain hal yg satu itu, kok kita masih ngulangin? Kenapa mereka ngasih tau itu, maksudnya supaya kita ga begitu lagi. Gitu aja kok ga ngerti? Kalo misalnya kita ngerti tapi masih aja ngulang, berarti kita yg bermasalah. Apa sih susahnya ga usah bercanda hal yg sensitif buat orang lain? Kita tinggal ga ngomong soal hal yg satu itu aja lho. Dan yg ga kalah parah adalah kita malah bercandain juga tentang keberatannya kalo kita bercandain hal yg sensitif buat dia. Dobel deh tuh! Udah orangnya bilang dia ga suka kalo kita bercandain hal yg satu itu, eh, pas dia udah bilang dia ga suka, besok2nya kita malah bilang, “Ntar ngomong ama gue deh kalo ga suka dibercandain gitu. Komplen deh. Ngelabrak deh.” Dan semacam itu. Don’t you ever think that this one is even worse?

Jangan pernah bilang kalo kita mau bikin mereka kuat dan ga sensitif lagi. Jangan sok jadi ahli kejiwaan. Urus aja masalah kita lainnya. Masalah orang lain mau sensitive sama satu hal itu adalah urusan mereka. Mereka yg udah jalanin hidupnya selama ini dan tau banget kenapa mereka bisa sensitif sama suatu hal. Urusan kita adalah tidak menjadikan hal itu sebagai bahan bercandaan. Itu aja. Ga repot kan?

So, buat yg selama ini hanya nyimpen2 rasa tersinggung saat orang lain bercanda, bilang aja. Ga perlu sampe marah kalo belum perlu. Mudah2an yg dibilangin juga cukup bijaksana, ga bego, dan bisa faham, bahwa mereka ga akan ngulangin lagi. Dan buat kita yg suka bercandain, tolong lah lebih bijaksana, ga bego, dan cukup sensitif untuk faham.

‘Kita’. Iya. Kita. Gue, lo, dan semua orang yg suka bercandain orang seenak maunya kita sendiri tanpa mikir orang lain sakit hati atau tidak.

Friday, May 27, 2011

Inspired by Infotainment, Celebrities, or some Victim?



Infotainment. Sebuah acara yang menyajikan berbagai kisah-kisah para selebritis, berita-berita seputar mereka. Dari mulai yang dianggap penting sampai yang beneran ga ada penting-pentingnya sama sekali. Banyak berita-berita dari para seleb itu yang disajikan sedemikian rupa hingga kesannya lebih penting dari berita lainnya. Dan diantara berita para seleb itu pastinya ada berita-berita tentang kisah cinta mereka. Ada yang baru jadian, ada yang putus, ada yang cerai, ada yang ini, ada yang itu.


Umumnya kisah cinta seleb-seleb yang bubaran lebih heboh ketimbang berita-berita tentang mereka lainnya.


Seleb A yang diwawancarai akhirnya mengatakan banyak hal tentang kisahnya yang berantakan itu. Dari mulai kenapa bisa begitu sampai ujung-ujungnya mengkambing hitamkan sang mantan pasangan atas hubungan mereka yang kandas.


Seleb B, yang adalah mantannya si seleb A, juga diwawancarai. Pastinya dia juga punya versi sendiri tentang hubungannya yang berantakan bersama seleb A itu. Dan sama seperti seleb A, akhirnya omongan dari seleb B ini terkesan seperti menyalahkan seleb A atas hancurnya hubungan mereka.


Hmm, mana yang bener? Kenapa dari mereka berita yang ada malah jadi ga karuan begitu? Si A bilang apa, si B ngomong apa. Katanya, si A begini, begini, begini. Terus si B bilang, begitu, begitu, begitu. Mereka ga ada yang mau disalahkan atas hancurnya hubungan mereka berdua. Mereka ingin jadi yang paling bener, dan mantan pasangan merekalah yang salah. Mereka saling memojokkan satu sama lain.


Kadang seorang seleb jika sedang mengalami hal seperti ini bukan hanya ga mau disalahin dan memposisikan diri sebagai korban. Bahkan ada yang terkesan bahwa dia adalah korban yang menderita.


Hmm, ini yang sebenernya sering terjadi dalam kehidupan kita. Ya, kita. Yang mungkin bukan orang yang disorot dimedia manapun. Pada saat kita punya masalah dengan percintaan atau mungkin pertemanan, kita cenderung ingin berada diposisi seorang korban. Kita cenderung lebih suka berada diposisi sebagai orang yang tersakiti, meski ga mau terlihat menderita tentunya. Kita lebih nyaman berada diposisi sebagai si-bukan-penyebab dari masalah itu terjadi.


Dan katakanlah temen-temen kita sendiri adalah media, seperti layaknya seorang seleb, kita ga mau ‘disorot’ oleh temen-temen kita sebagai si penyebab masalah itu terjadi. Kalo pake istilah sinetron nih ya, kita ga mau diposisikan sebagai tokoh antagonis.


Lalu akhirnya ngomong kesana, ngomong kesini kalo kita diperlakukan ga bener oleh orang yang bermasalah dengan kita. Kesana bilang kita dijahatin, kesini bilang kita disakitin, dan terus begitu.


Hmm, apapun masalahnya kayanya ga usah deh gembar-gembor kesana-kemari. Ini ga ada bedanya dengan menjelek-jelekan orang lain tentunya. Apalagi ini dilakukan agar kita merasa aman. Percayalah, ini ga menyelesaikan masalah. Tapi malah memperkeruhnya.


Well, yang pasti masalah terjadi karena ada penyebab dan akhirnya ada akibat. Siapa yang salah, siapa yang jadi korban. Dan bisa jadi penyebab sekaligus korban adalah kita sendiri tentunya. Kita yang menyebabkan, kita juga yang jadi korban. Jadi bukan hanya kita yang jadi korban dan akhirnya orang lain yang menyebabkan. Begitu juga sebaliknya. Sebaiknya emang kita juga harus introspeksi diri, apa bener kita ini adalah korban saja? Bukan juga penyebab? Atau paling tidak, punya andil makanya masalah itu sampe terjadi.


Toh kalo emang kita yang jadi korban, kita juga inget-inget, kenapa bisa begitu. Apakah ada perilaku kita yang ga ngenakin buat yang bermasalah dengan kita itu, entah pasangan atau sahabat kita. Kalo emang awalnya asik-asik aja terus jadi bermasalah, berarti emang ada yang ga beres disitu kan?


Dan lagi, kenapa juga kita kok seneng banget dengan seolah berada diposisi sebagai korban? Kenapa? Karena kita ga mau disalahin? Karena kita menjaga nama baik, atau apa? Cari dukungan? Atau malu karena jadi orang yang ngeselin? Well, bukan gitu seharusnya.




Hey, dulu kita cinta lho sama pasangan kita itu. Dulu kita sayang lho sama teman-teman atau sahabat kita tersebut. Kita pernah menghabiskan waktu kita bersama mereka lho. Kita pernah seneng-seneng atau bahkan bener-bener bahagia bersama mereka lho. Kok sekarang jadi gini? Bukankah lebih baik kita ga ngomong yang memojokkan mereka ketika semua itu sudah berakhir? Kok masalah yang terjadi malah dijadikan makin keruh dengan mulut kita sendiri? Kok sekarang seolah mereka adalah sampah lewat omongan kita sendiri? Apakah lantas kita menjadi orang yang lebih baik dengan bicara omongan yang memojokkan atau menjelek-jelekan orang lain? Engga kan? Apalagi berlindung atau agar merasa aman dibalik omongan-omongan itu semua? Haloo…!!


Dan ya, yang mungkin emang bisa kita ambil hikmahnya kalo emang kita udah terlanjur dijelek-jelekin ama mantan pasangan atau orang yang dulu sempet jadi temen kita itu adalah latihan untuk mental kita supaya lebih kuat lagi. Atau menganggap diri kita ini sebagai seleb aja. Yang diomongin sedemikian rupa kesana-kemari. Hahaha… Bukankah seleb emang seperti itu kehidupannya? Itung-itung latihan mental (juga) kalo kita emang jadi seleb beneran. Dengan gitu kan udah siap kalo kisah kita masuk ke infotainment. Hehehehe…

Wednesday, January 28, 2009

The Broken Mirror



Sekitar tahun 2002, gue nonton sebuah film kartun yg bukan serial. Sayangnya, gue ga inget judul film itu apa. Jadi film kartun itu kaya beberapa film yang disatuin jadi satu. Kalo ga salah ada empat. Ya, seperti film Berbagi Suami, Perempuan Punya Cerita, atau yang kemaren sempet heboh di temen2 gue, film Thailand, 4bhia.

Eniwe, salah satu dari cerita di film itu ada yang keinget sampe sekarang buat gue. Ceritanya simple doang, tapi kayanya dalem. Paling engga, buat gue.

Ceritanya jaman dahulu kala, ada seorang penyihir yang mengutuk sebuah cermin.

Tapi sayangnya cermin itu pecah berkeping-keping. Dan pecahannya itu menyebar luas sampe keseluruh dunia. Pecahannya itu kecil2 banget. Sampe ga kesat mata. Dan bahkan orang yang terkena pecahannya itu ga nyadar kalo mereka kena pecahan cermin itu, karena terlalu ‘halus’nya pecahan cermin itu.

Dan pecahan cermin yang mengenai manusia itu hanya masuk ke mata dan ke hati aja. Yang matanya kena, akhirnya hanya ngeliat segala sesuatunya dari hal2 yg jelek aja. Dibutain matanya dari melihat hal2 yg baik. Termasuk melihat orang lain. Seolah2 semua yang orang lain lakukan itu selalu buruk dimatanya. Akhirnya selalu (berprasangka) buruk terhadap apapun, termasuk ke orang lain. Selalu jelek2 mulu.

Sementara pecahan kaca yang akhirnya masuk ke hati akhirnya membuat orang hatinya menjadi buruk. Bersikap buruk. Dan pastinya ga baik hati. Hatinya selalu mendengki ke orang lain. Ga bisa liat orang lain senang. Usil, rese, dan sebagainya. Bahkan yang parah ya jadi jahat.

Nah, termasuk yang manakah kita itu? Gue sih berharap kita sama sekali ga termasuk orang2 yang terkena pecahan cermin yang pernah dikutuk oleh penyihir itu. Dan sudahkah kita bercermin, seperti apakah kita ini?

Thursday, August 28, 2008

You Belong to Me, My Friend... Only Me!


Tadi malem, temen gue yang tinggal di Medan, Yuni nelpon gue. Cukup lama juga percakapan kita semalem. Sekitar tiga jam. Tentunya percakapan yang lumayan lama kaya gini bisa terjadi karena fasilitas salah satu provider yang bisa dibilang ngebantu banget hubungan jarak jauh dengan biaya yang ga ‘mencekik leher’. Walau kadang keganggu juga ama tiba2 putus. Mungkin ini kelemahannya ya? Mentang2 pulsa jadi murah, eh mati2 mulu. Dan beberapa kali pula ga taunya gue malah ngomong sendiri. Karena ga taunya telponnya matiii.. huhuhuhu.. Yang lucunya, tau2 telpon gue bunyi padahal gue lagi ngomong. Dan itu tentunya dari dia. Hahaha..

Anyway, udah agak lama juga kita ga telpon2an. Tapi itu ga bikin hubungan pertemanan gue ama dia renggang. Yang penting kan kualitas pertemanan kita aja. Masalah kuantitas sih kita ga ribet. Tau sama tau aja. Saling ngerti juga kalo emang ga ditelpon2. Kan bukan juga artinya gue jauh gara2 jarang contact2an. Paling2 sms. Itu juga ga sering2 amat.

Anyway lagi, percakapan kita semalem lebih didominasi ama dia. Dalam arti kata, dialah yang kali ini lebih banyak cerita dibanding gue. Dia cerita tentang hal2 yang terjadi dihidupnya belakangan ini. Dan rupanya ceritanya soal temen2 barunya. Tentang pertemanan dia ama mereka yang ga lain dan ga bukan adalah rekan2 dikantornya.

Sejak beberapa bulan lalu, Yuni diterima jadi penyiar disalah satu radio swasta di Medan. Awalnya, dia cuma muterin lagu doang. Terus ningkat jadi bawain program khusus. Dan sekarang udah siaran secara regular. Tentunya dia banyak belajar ama penyiar2 seniornya disitu.

Yuni ini tipe orang yang gampang akrab ama siapa aja. Bisa dibilang dia ini loveable. Banyak temen2 yang seneng temenan ama dia. Apalagi, Yuni ini kadang suka nyeletuk yang lucu2. Suka bercanda gitu deh. Tentunya ini bikin suasana jadi nyantai dan nyaman. Well, siapa sih yang ga pengen punya temen yang bisa bikin kita ketawa? Ya, kalo engga, rasa2nya gue ga gitu2 amat akrab ama dia. Hahaha..

Hampir semua orang suka temenan ama Yuni. Dan di radio tempat dia siaran, semua orang yang ada disitu sekarang adalah temennya. Mereka ga hanya ngabisin waktu diradio, tapi kadang suka jalan bareng. Nongkrong di Merdeka Walk (tempat nongkrong disekitar Medan), ngopi2, ya bercengkrama lah. Malah mereka juga suka karokean. Entah disana karokeannya kaya disini, di Inul, atau apa namanya, ga inget gue.

Tapi yang dia ceritain tadi malem bukan yang enak2nya ternyata. Entah kenapa, ujung2nya Yuni malah dianggap sebagai perusak persahabatan yang udah terjalin lama diantara para temen2nya sesama penyiar itu. Yang emang udah terjalin dari lama sebelum Yuni masuk. Weleh2…

“Emang lo ngapain sih?” tanya gue.

“Ngapain ya? Kayanya aku ga ngapa2in deh.. Sumpah aku ga ngerti!” jawab dia dengan logat rada2 Medan.

“Lo mendominasi disitu?” kali ini gue rada nuduh.

“Heh! Ngapain gue mendominasi? Lo pikir gue apaan? Ibu tiri?” gue malah ketawa denger jawaban dia kali ini.

Wakakakakakakakak…

“Ya kali aja lu mendominasi. Tapi lo ga nyadar. Mungkin lo suka sok2 bossy gitu!” kata gue sambil ngetawain kecil2an.

“Ya olooooooo, Jeeeee!!!! Gue aja bete ama orang kaya gini. Masa gue kaya gini??? Ah, kau!” jawabnya yang gue sambut pake ketawa.

Dan yang paling bikin Yuni pertama kali nyadar adalah sebutan Yuni sebagai sahabat barunya si Betmen (emang beneran namanya Betmen, gue juga heran). Tapi nyebutnya gini, “Sahabat baru lo tuh, si Yuni. Belom nyampe dia disini? Ga sedih lo?” pas lagi hang out bareng dan Yuni udah tiba disitu cuma mereka ga ngeh kalo Yuni udah nyampe. Dan sepertinya, orang ini berusaha mempengaruhi yang lain untuk jauh dari Yuni, termasuk Betmen. Eniwe, bisa dibilang orang ini adalah yang paling ‘senior’ dilingkungan tempat kerja Yuni.

Gue yang dicurhatin kaya gitu ama dia heran. Tuh orang makan apa ampe kaya gitu? Lha dari kemaren bukan biasa2 aja? Kok tiba2 gitu?

Yuni sendiri akhirnya mengingat2 lagi apa salah dia ampe bisa begitu. Saat itu sih, gue malah ngeledekin. Gue bilang aja, “Mungkin lo bikin orang yang ngomong gitu, atau siapapun yang paling nyinyir tentang lo itu, merasa terebut posisinya. Mungkin selama ini, dia yang paling gimana gitu. Apa kek. Mungkin selama ini temen2 lo itu perhatiannya kediaaaa mulu. Eh, pas ada elo, ke elo deh.”

Well, sampe saat berita ini diturunkan (hehehe…), baik gue maupun Yuni sendiri ga tau persis penyebabnya apa. Tapi yang pasti kenapa Yuni bisa dianggap peretak bukan sebuah kesimpulan belaka. Salah satu dari mereka sempet bikin list ‘gang’ mereka tapi nama Yuni ga tercantum disitu. Ditambah sikap yang menjauh dari orang yang nulis list itu. Yang ga taunya orangnya itu2 juga. Juga sikap orang itu ke Betmen. Betmen dianggap penghianat karena paling deket ama Yuni. Mungkin Betmen merasa menemukan Robin didiri Yuni. *merenung*

Dan satu hal yang emang ga perlu diragukan lagi kalo Yuni dianggap begitu karena Betmen sendiri pernah bilang ke Yuni, kalo dia dikritik sebagai penghianat oleh teman2nya. Tapi herannya, sebenarnya hanya satu yang bilang gitu. Yang lainnya sebenarnya sikapnya masih biasa2 aja.

One thing for sure is, mereka bukan anak kecil lagi. Seinget gue hal2 kaya gini terjadi umumnya ama anak2 SD. Dimana anak2 SD itu sering ngerasa temennya direbut ama temennya yang lain. Sok dewasa dengan nyebut itu sebagai persahabatan. Cuma sepertinya ga tau persahabatan itu pengertiannya yang bagaimana. Kelewat mikirin lah, berkotak2 lah, harusnya gini lah, harusnya gitu lah, nutup dari orang2 baru lah. SD banget sih! Oops.., mudah2an temennya Yuni ga ada yang baca ini!! Ahhh.. untungnya gue ga pernah ada dalam posisi Yuni. But, I’m really sorry to hear that, Yun.

“Gue ga pernah dateng kesuatu tempat untuk jadi perusak. Gue juga ga pernah terpikir untuk mencuri apapun termasuk sebuah persahabatan untuk gue miliki.” Kali ini nada bicara Yuni cukup serius. Dan gue sangat setuju dengan dia.


Apalah gunanya nyuri2 persahabatan? Apa juga gunanya menyebarkan pengaruh ke orang lain untuk ga mau berteman atau bersahabat dengan seseorang? Kita ini berharga. Kalo ada orang yang mau bersahabat dengan kita, itu karena kita berharga. Kita ini layak dijadikan sahabat. Kalo kita emang bener2 ditinggal sahabat kita sekalipun, kita tetap berharga. Jangan pernah kita mau jadi orang2 yang menilai rendah diri kita sendiri dengan merasa ga layak untuk dijadikan sahabat, atau sahabat kita bakalan kabur dari kita. Jangan pernah kita injak2 diri kita sendiri dengan merasa kita tidak terlalu bagus atau kalah bagus dari orang lain untuk ada diposisi sebagai sahabat dari seseorang. Apalagi hanya karena orang itu tidak memperlakukan kita tepat seperti apa yang kita inginkan. Dan jangan pernah kita merasa harus dipandang lebih tinggi dari orang lain juga. Lebih layak dari orang lain. Kaget dan merasa dikalahkan karena selama ini menganggap orang lain itu lebih rendah dari kita, tapi tiba2 menjadi sangat dekat dengan sahabat kita. Dan jangan pernah kita merendahkan diri dengan melakukan tindakan mempengaruhi seseorang yang kita sebut sebagai sahabat kita untuk tidak bersahabat dengan orang lain. Ga ada istilah sahabat yang menentukan dengan siapa sahabatnya itu mau bersahabat lagi. Hey, hargai diri kita! Semua orang itu berharga, semua orang layak dihargai. Termasuk diri kita sendiri.


Bukankah persahabatan itu harusnya tulus dan menerima apa adanya? Kenapa kita lantas merasa terancam dengan keberadaan orang lain dengan pemikiran orang itu akan menjauhkan kita dari sahabat kita yang udah sejak lama jadi sahabat kita? Kenapa kita ga bisa menerima keadaan kalo emang sahabat kita yang udah lama bersahabat dengan kita itu memiliki sahabat yang baru? Atau merasa sahabat kita adalah properti yang kita punya dan ga boleh orang lain sentuh. Percayalah, seseorang yang merasa diikat2 pasti tidak akan pernah betah berada disamping kita. Dan apakah ini persahabatan yang sehat? Atau bahkan, apakah ini yang namanya persahabatan? I really don’t think so. And I’m sure no one will do!

“Udah lah, Yun. Tak usah kau pikir2 lah itu. Kau tidak jahat. Kau ini baik. Aku memang agak susah menunjukkannya, tapi aku sayang ‘kali sama kau. Kau sahabatku.” diujung percakapan kita, gue ucapin aja kalimat ini. Sok2 berlogat Batak tentunya.

Tapi ga kedengeran suara apa2 dari si Yuni ini.

“Halo.., halooo…” gue coba yakinin kalo dia ngedengerin gue. Dan sekali lagi gue ngomong, “Haloo.. halo, Yun.. r u still there..” dan kali itu gue liat layar telpon gue. Yaaahh.., matiiii… huhuhuhuhuuuuu….

Tiba2 kedengeran lagi bunyi telpon gue. Hey.. telpon dari temen gue yang lainnya… Wah, Yuni ga bisa gue telpon lagi atau nelpon gue dong untuk ‘closing’ dan kesannya ga sopan juga ya tau2 ilang gitu…


Ah, biarlah.. tadi juga emang udah ga ada yang mau diomongin lagi. Paling2 dia ngerti kok kalo gue ga telpon dia lagi saat itu dan dia juga mau telpon gue lagi tapi ga bisa. Toh sebenernya, ga semua hal harus selalu diklarifikasi kan? Cukup sama2 ngerti aja.

Eniwe, berarti dia juga ga denger apa yang gue bilang ke dia tadi. Hmm, ga papa lah. Tanpa harus gue bilang, dia juga tau kok. Dia pasti mengerti kalo dia begitu berharga buat gue, tanpa harus gue tunjukkin. Dan dia juga berharga buat siapapun juga didunia ini. Karena semua orang pasti berharga.

Thursday, July 31, 2008

I Fall and It's Your Fault

Kemarin, nyokap gue baru aja cerita tentang temannya waktu beliau remaja dulu. Namanya Jen. Jen dulunya adalah seorang pria yang baik. Tapi cerita yang diceritain nyokap gue tentang Jen adalah cerita yang sekarang. Jen yang sekarang ga lain dan ga bukan adalah orang gila. Orang yang ga waras. Dan tragisnya, Jen jadi gila sehari setelah dia nikah. Dan sekarang umur Jen udah setua nyokap. Yaitu 55 tahun. Berarti Jen udah jadi gila bertahun-tahun lamanya, dari muda sampe setua sekarang.

“Rambutnya kusut. Dia bener-bener dekil,” ujar nyokap gue.

Dan mengalirlah cerita nyokap tentang kenapa Jen bisa begitu. Jen ga waras lagi sebenernya disebabkan karena guna-guna orang. Saat Jen menikah dulu, ada seseorang ngasih garam yang banyak sebagai salah satu sumbangan untuk hari pernikahan Jen. Jadi maksudnya kalo orang nikah ditempat nyokap dulu itu, para tetangga, saudara-saudara, dan kerabat lainnya suka ngasih sumbangan-sumbangan berupa buah-buahan, bahkan daging, beras, dan lain sebagainya. Dan kebetulan ada juga yang ngasih garam. Dan garam yang dikasih itu berasal dari orang yang benci sama si Jen ini, dan garam itu udah dimantrain.

Garam itu dipake buat bumbu masak semua makanan yang disajikan dipernikahan Jen. Tentunya semua orang emang makan makanan itu. Tapi emang guna-guna itu ditujukan untuk Jen seorang, maka hanya Jen lah yang kena. Dan besoknya, Jen jadi gila. Sampe sekarang.

Dan satu hal yang paling ngeri adalah ternyata, orang yang mengguna-gunai si Jen ini ternyata adalah ‘pacar’ Jen sebelum menikah dengan perempuan yang menjadi pengantinnya hari itu. Jadi, Jen sempet punya hubungan istimewa dengan si A, tapi nikah sama si B. Hmm, dalem banget perasaan si A itu ya.

Udah beberapa orang pinter mencoba untuk nyembuhin Jen, tapi hasilnya nihil. Mereka hanya tau siapa penyebabnya. Dan perempuan yang sakit hati itu udah ga tau ada dimana.

Hmm, ini sebenernya sebuah cerita klise. Cerita kuno tentang cinta. Ya kan? Dimana kita bisa liat seseorang sakit hatinya oleh seseorang yang ia cintai. Walau emang ujungnya jadinya serem banget.

Satu hal yang bisa kita liat adalah sebaiknya jangan kita pernah sembarangan sama perasaan orang. Mungkin cerita diatas ga setiap hari terjadi dimana seseorang yang disakiti hatinya lantas menguna-gunai. Tapi hati yang disakiti, hmm.. terlalu sering terjadi. Jangan pernah kita membuat seseorang melayang tinggi, lalu kita jatuhin dia begitu aja. Ini menyakitkan. Meskipun saat itu masih terjadi, semuanya tulus. Bukan ngerjain, bukan main-main.

Mungkin kita sering menyukai seseorang dan akhirnya kita ngasih dia perhatian dan rasa sayang kita. Dan itu tulus. Kita menikmati betul perasaan kita kedia. Kita menikmati betul memberikan perhatian kita ke dia. Dan semua itu kita lakukan tanpa kita pikirin kita sebenernya udah jadi milik orang lain, misalnya. Atau dia udah jadi milik orang lain. Atau apapun yang ujungnya sebenernya kita tau kalo kita ga akan pernah bersama dia.

Apakah kita pernah mikirin kalo perhatian dan rasa sayang kita ke dia hanya bikin dia sakit hati nantinya? Bagaimana kalo dia akhirnya jatuh hati pada kita? Apakah kita akan bertanggung jawab atas ini? Kalo emang kita niat untuk jadi pacarnya atau pasangan hidupnya sih ga papa. Atau jika dia emang ga milik siapa-siapa dan rasa sayang kita ga akan ngerusak hubungannya dengan seseorang yang udah memilikinya sebelum kita kenal, itu juga ga papa. Tapi ini udah jelas-jelas ga mungkin? Hmm, lebih baik jangan. Ini hanya bakal nyakitin.

Sekalipun perasaan kita emang tulus ke dia, tapi kita ga liat-liat, ini sama aja kita mempermainkan perasaannya. Untuk apa kita memperlakukan dia seperti itu kalo ujung-ujungnya semua ini akan merusak segala-galanya. Ini ga lebih dari sebuah keegoisan belaka. Kita menikmatinya, tapi orang lain yang menanggung akibatnya.

Lebih baik, simpan aja perasaan itu dan jangan memperlakukan dia seperti itu. Bersikaplah biasa aja. Bersikaplah yang lain yang bukan mengistimewakannya. If u know that u can never be together, so don’t u ever do this.

Kita mungkin selama ini berpikiran kalo yang kita berikan itu tulus, maka itu ga akan pernah menyakiti siapapun kecuali pasangan kita atau pasangannya. Tapi bukan perasaan orang yang tulus kita sayangi itu. No, ini salah. Perasaan tulus dengan memperlakukannya seperti itu tetep aja bisa nyakitin. Sangat nyakitin.

Hmm, mungkin dulu Jen memperlakukan perempuan yang akhirnya menguna-gunainya dengan sangat tulus. Perlakuan yang istimewa. Bukannya perlakuan istimewa bohongan. Tapi Jen ga bisa bersama perempuan itu. Dan menjadi orang yang ga waras akhirnya jadi tanggung jawab Jen seumur hidupnya. Perempuan itu emang salah juga. Tapi siapa yang menyebabkan semua ini? Atau jika perempuan itu ga menguna-guna si Jen, tapi dia depresi atau bahkan bunuh diri sekalian. Tetep aja, Jen yang salah kan? Andai Jen ga pernah begitu, mungkin sekarang dia udah menjadi kakek dengan enam orang cucu seperti nyokap gue.

Cinta emang sensitif. Jika cinta emang bisa bikin kita jadi gila, ternyata cinta bisa bikin orang membuat orang lain jadi gila. Gila dalam arti kata yang sesungguhnya. Ga waras lagi.

Hmm, kebayang ga kalo mereka yang hanya bikin-bikin ge’er gitu ya? Cuma buat hiburannya semata (What a loser! Yang ini sih bener-bener loser!!!). Kalo yang tulus aja bisa dibikin gila, gimana yang gini…?

Tuesday, July 15, 2008

Middle Finger Is So Cool!! (?)

Waktu kita kecil, kita pastinya selalu diajarin untuk ngomong yang sopan dan baik. Agar kita punya budi bahasa yang baik jika kita ngomong ama orang yang lebih tua, temen sekolah, guru, orang2 disekitar, dan sebagainya.

Ga cuma agar kita ngomong sopan aja, ini juga dilakukan oleh orang tua kita agar kita jadi orang yang jelas pernah disekolahin. Berpendidikan. Anak sekolah ngomongnya ga boleh gitu, kata orang2 tua kita.

Tapi seiring berjalannya waktu, kala kita udah dewasa, sepertinya hal kaya gini emang udah ga berlaku lagi. Ya, bukan ga berlaku secara umum. Tapi ga berlaku didiri kita lagi. Dan dipergaulan kita. Untuk apa terus-terusan ngomong sopan2? Untuk apa kita ga pernah ngomong kasar? Ngata2in orang, ngomong jorok, mengumpat, mengejek, menghina, dan semuanya. Apalagi kalo ngomong2 kasar pake bahasa Inggris! Wah, keren banget! Kesannya justru sangat gaul sekali. So sophisticated! Damn!!!

Entah ini sebuah penggeseran nilai kehidupan (aduh…) atau emang ini hanya trend atau ini justru suatu pembuktian atas posisi seseorang dimata masyarakat (baca: pergaulan), ngomong kasar emang rasanya seperti sebuah keharusan! Well, liat aja, disekitar kita orang yang berpendidikan juga ngomongnya kasar2 dan ga mencerminkan kalo mereka berpendidikan tuh. Temen2 kita, rekan2 kita dikantor, dikampus, disekolah, dimanapun!!

Pernah kan kita denger orang yang selalu ngomong the ‘F’ word itu? Atau pake bahasa sini, ngen***, nge**, anj***, mony**, dan sebagainya. Atau yang lainnya?

Siapa peduli dengan anggapan kalo orang berpendidikan itu ngomongnya baik, berbudi pekerti, sopan, berpendidikan sekali, and all those stupid crap they always said hundred years ago? Orang yang berpendidikan tinggi jaman sekarang ya kalo ngomong ya, yang bukan seperti itu. Orang yang berpendidikan jaman sekarang, baik yang pernah sekolah diluar negri sekalipun, ya kalo ngomong ya yang seperti f**, s**, d**, motherf**r, dan sebagainya! Baik dalam bahasa kita maupun bahasa londo itu. Semakin kasar mengumpatnya, semakin kerenlah dia. Berpendidikan? Ya inilah pendidikannya. Huahahahaha…

Jangan salahin dunia itu sekarang udah makin gila, no! Itu terlalu cengeng! Terlalu manja. Kenapa lantas dunia yang salah. Pikiran kita aja yang emang salah. Lha kenapa juga doyan ngomong2 macam begini? Ngomong2 kasar baik pake bahasa manapun emang udah merupakan kebanggaan.

Orang tua kita boleh aja mulutnya berbusa ngajarin kita ngomong sopan kala kita kecil. Orang2 tua itu boleh aja berpendapat kalo semakin tinggi pendidikan yang anaknya peroleh, semakin banyak uang yang mereka habiskan untuk anaknya mengenyam pendidikan2 itu, maka anak2 mereka akan sangat berpendidikan dan memiliki cara bicara yang sangat berpendidikan. Walau mereka ternyata salah. Orang2 yang punya pendidikan tinggi, rendah, atau apapun, ngomongnya ya sama aja tuh. Cuma bedanya mereka pake bahasa Inggris atau bukan.

Dan satu yang ga ketinggalan, yaitu gaya kalo difoto. Hey, jari tengah emang paling keren! Gaul benget deh pokonya! DUUH!

Monday, June 23, 2008

Would-U-Heal-My-Broken-Heart-? Approaching Type


Pedekate. Pendekatan. Ini adalah kata yang kalo dalam bahasa Inggris tuh adalah approaching. Biasanya dilakukan ama orang yang lagi suka ama seseorang dan mau jadi pacarnya. Pedekate bisa dalam banyak hal. Dari mulai ngedeketin lewat hobinya, ngedeketin lewat kesukaannya, sok-sok perhatian, dan yang paling populer adalah ngedeketin lewat curhat. Sok-sok curhat gitu deh.
Isi curhatnya bisa macem-macem. Ada yang curhat dengan masalah-masalahnya yang sekarang, sampe curhat tentang masalahnya yang dulu-dulu. Biasanya nih, curhatan yang tentang dulu-dulu tuh yang tentang dia dulunya disakitin ama pacarnya.
Ya, karena udah ketauan lagi pedekate, biasanya orang yang dideketin, kalo emang nerima ya, mau aja dicurhatin kaya gitu. Dan mengalirlah curhatan demi curhatan itu. Dan seperti diatas tadi, curhatan tentang pernah disakitin ama pacarnya yang dulu jadi curhatan yang ga ketinggalan. Malah sebenernya ini adalah andalan buat pedekate! Curhat disakitin ama pacar yang dulu tuh merupakan senjata ampuh buat menaklukan si yang dideketin. Tentunya dengan harapan yang dideketin jadi makin simpatik ke dia dan punya pikiran kalo orang-yang-dulu-pernah-disakitin-ga-bakalan-nyakitin-orang. Dan tentunya ya ujungnya ya nerima jadi pacar.
Well, sebaiknya jangan pernah mau terlena ama curhatan kaya gini dan bikin lo lantas percaya kalo orang ini adalah orang yang tepat buat lo. Dengan mikir kalo dia ga bakalan nyakitin karena dulunya pernah disakitin adalah salah!
Mau dia bohongan atau ga ngibul kalo dulunya disakitin, tetep aja buntut-buntutnya dia mungkin-mungkin aja nyakitin lo. Percayalah, ini ga lebih dari trik untuk menggaet seseorang dengan memanfaatkan sisi lembut dan kemanusiaannya yang tentunya disalahgunakan.
Just remember, bahwa orang yang pernah disakitin atau curhat pernah disakitin ama pacarnya dulu, sama potensialnya kok dengan orang yang ga pernah nyakitin pacar untuk nyakitin hati lo. Hahahaha...

Monday, June 2, 2008

My Life Is Not Your Life and Your Life Is Not My Life

Nama saya Indra. Saya dilahirkan dikeluarga yang harmonis dan bahagia. Hidup saya bisa dibilang penuh kebahagiaan. Apapun yang saya butuhkan umumnya selalu tersedia. Sejak kecil hingga kini, saya memiliki fasilitas-fasilitas yang membuat saya mudah untuk melakukan apapun. Saya juga memiliki orang tua yang selalu ada buat saya. Mereka tidak menghabiskan waktu mereka untuk pekerjaan mereka yang membuat saya tidak sempat merasakan kasih sayang mereka. Selain itu saya memiliki saudara-saudara yang sangat baik. Kakak dan adik saya yang selalu menyenangkan buat saya. Dan semua sahabat-sahabat saya selalu membuat saya merasa hidup saya memang menyenangkan. Ditambah lagi, pekerjaan saya menghasilkan uang yang membuat saya tidak pernah merasa kehilangan semangat bekerja, mampu membuat saya pergi jalan-jalan kenegara manapun yang saya ingin kunjungi, dan pulang membawa oleh-oleh untuk mereka yang saya sayangi. Saya juga memiliki kekasih yang membuat saya merasa berarti. Memiliki dan dimilikinya adalah suatu kebahagiaan. Dia sangat pengertian, baik, dan mencintai saya dan keluarga saya.

Suatu hari saya bertemu dengan seseorang yang akhirnya menjadi salah satu teman saya. Kita sering berbagi pengalaman dalam hidup. Kurang lebih kehidupannya sama dengan saya. Penuh kebahagiaan. Tetapi yang ia hadapi sebelum mendapatkan kebahagiaan adalah sebuah perjuangan berat. Pengalaman-pengalaman hidupnya penuh dengan kesedihan, kesusahan dan kepahitan.

Sewaktu kecil ia harus berjualan koran keliling komplek hanya untuk menabung agar bisa membeli sebuah majalah anak-anak tiap kali terbitnya. Naik bis berhimpitan dan berdesak-desakan untuk berangkat sekolah. Menghadapi orang tua yang bukan hanya berpendapatan kecil, tetapi juga kasar terhadapnya. Beberapa kali ia sempat dipukuli oleh mereka. Saya memang melihat ada bekas luka ditangannya yang diakibatkan oleh siksaan orangtuanya kala ia kecil dulu.

Selain itu untuk bisa kuliah sampai ia mendapatkan gelar seperti sekarang ini, ia harus bekerja. Mulai dari tukang pel disalah satu restoran cepat saji, menjual CD bajakan, pelayan dikafe, dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya.

Belum lagi tentang kehidupan cintanya yang sering kali berantakan. Memiliki pacar yang selingkuh, pacar yang mengintimidasi, pacar yang matrealistis, pacar yang ini, yang itu. Juga penolakan-penolakan. Baik penolakan tentang kehidupannya cintanya itu, maupun penolakan lainnya.

Kontras sekali dengan saya. Saya tidak pernah melakukan atau menghadapi apa yang ia lakukan atau hadapi dulu. Waktu kecil, saya tinggal menunggu setiap hari Kamis untuk mendapatkan majalah anak-anak yang sama yang ia beli dengan berjualan koran berkeliling komplek. Saya tidak tahu rasanya berdesak-desakan didalam bis. Yang saya tahu adalah berdesak-desakan tiap kali nonton konser. Itupun jika saya nekad ikut-ikutan teman-teman saya untuk nonton dikelas festival. Orang tua yang suka memukul? Orang tua saya paling membenci hal yang satu itu. Dan tentang pacar, ya seperti yang saya ceritakan diatas.

Kami bersahabat baik. Walau hidup kami berlatar belakang berbeda seperti ini. Saya sering dibilang sebagai orang yang beruntung olehnya. Untuk yang satu ini, saya merasa dia benar sekali. Dan ini adalah hal yang saya sukuri. Tapi satu hal yang saya lantas merasa tidak benar adalah kata-katanya yang seringkali ia tudingkan kepada saya. Yaitu kata-katanya yang menyebut saya sebagai orang yang tidak pernah berjuang sama sekali dalam hidup. Dan yang akhirnya saya tidak habis pikir adalah tudingannya atau mungkin predikat saya dimatanya tentang saya yang payah, dan memiliki hidup yang ‘tidak ada apa-apanya’.

Apa benar jika kita tidak pernah menghadapi hal-hal yang berat dalam hidup kita, kita lantas bukan orang yang tidak pernah berjuang sama sekali dalam hidup kita? Saya pikir, saya pernah mengalami perjuangan-perjuangan dalam hidup saya. Toh itu ada dalam hidup saya. Dan itulah perjuangan yang saya hadapi.

Sebut saya naïf, lugu, atau apapun itu, tapi jika kita merasa sudah melakukan banyak hal berat dalam hidup kita apakah kita lantas berhak membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain tetapi dengan menganggapnya sebagai orang yang payah? Jika hidup saya tidak sesusah hidupnya bukan berarti ia lantas seorang jagoan sementara saya hanya seorang pengecut bukan? Dan itu bukan berarti hidup saya tidak ada apa-apanya. Semua orang punya kisah hidupnya masing-masing. Semua orang punya perjuangan dalam hidupnya masing-masing. Toh Tuhan sudah menentukan apa yang harus saya hadapi, apa yang harus orang lain hadapi, apa yang saya punya dan apa yang orang lain punya kan? Berat atau tidaknya yang merasakan adalah yang menjalaninya. Dan saya pikir dia tidak berhak menilai saya dari kacamatanya yang berdasarkan hidupnya itu.

Well, maaf saja kalau ternyata hidup saya yang selalu bahagia ini membuat orang tidak nyaman. Maaf saja kalau ternyata kebahagiaan ini membuat orang lain menjadi picik. Saya tidak pernah bermaksud seperti ini.

Kenapa kita sepertinya marah terhadap orang lain yang tidak merasakan dan menghadapi kesusahan seperti yang pernah atau selalu atau masih kita hadapi? Kenapa hidup orang lain yang jauh lebih beruntung membuat kita lantas mengecilkan orang itu? Apakah perjuangan dalam hidup membuat kita jadi mudah menilai orang? Apakah jika kita pernah terbang lantas menilai mereka yang tidak terbang sama sekali sebagai orang yang bodoh, menyebalkan, pengecut, manja, dan sebagainya. Apa artinya perjuangan hidup yang berat selama ini kalau itu hanya membuat kita menjadi picik, dangkal, mudah menilai, dan mudah benci kepada orang lain, dan tentunya sombong?

Wednesday, May 21, 2008

Buaya dan Kadal

Pernah denger istilah buaya dikadalin? Rasanya semua orang pasti pernah denger istilah yang satu ini. Istilah yang mungkin berasal dari atau terinspirasi dari ukuran dua hewan itu. Atau mungkin kelakuan. Karena buaya pastinya ukurannya jauh lebih besar ketimbang kadal dan buaya mungkin punya kelakuan yang lebih buruk dari kadal. Tapi tetep ada kesamaan. Kesamaannya adalah dua2nya punya kaki empat dan reptil. Pastinya dua2nya mirip.

buayaaa.. buseeet

Kalo kita artiin istilah ini berarti orang yang lebih jago tapi dibodohin. Yang lebih besar, tapi dikecilin. Yang udah lebih senior, lebih hebat, tapi dianggap bego. Lebih sering melakukan satu kelakuan, tapi dianggap ga ngerti apa2.

Contohnya misalnya kalo ada seorang ‘senior’ dalam bidang tipu menipu. Tapi suatu kali seseorang mau menipunya. Dan karena dia udah biasa banget dan jago banget dalam bidang tipu menipu, dia bisa tau kalo dia sedang ditipu.

Atau misalnya seorang guru. Jamannya dia masih sekolah dulu, dia sering bikin surat palsu kalo dia lagi pengen bolos. Surat yang ditanda tanganin sebisa mungkin mirip tanda tangan orang tuanya itu dengan sukses menyelamatkannya dari konsekwensi karena bolos. Dan suatu hari ketika dia udah jadi guru, ada seorang muridnya yang coba2 ngelakuin hal yang sama. Dengan bangga si guru yang dulunya murid ini pun lantas bilang, “Buaya mau dikadalin!”

Dan tentunya konsekwensi dari bolosnya sang murid jadi terlaksana. Surat seperti itu ga akan mempan untuk seorang buaya seperti sang guru ini. Dia udah tau apa2 aja yang sekiranya bisa dikategorikan sebagai surat palsu. Dia udah tau sengibul2nya si murid itu kaya apa. Karena si guru ini emang buayanya dalam bidang yang satu ini.

Atau juga seorang atasan. Dulu waktu dia belum punya bawahan, dia sering banget berkelakuan ga professional dikantor. Banyak kerjaan yang dipending2 hanya karena dia lebih seneng nyantai kalo dikantor. Lebih seneng browsing2, chatting2, dan sebagainya yang ga ada hubungannya ama kerjaan. Bahkan sampe bikin kerjaannya terbengkalai. Dan walau kelakuannya kaya gitu, ternyata dia bisa terus berkarier sampe akhirnya dia punya bawahan. Tapi kelakuannya yang suka menunda2 kerjaan demi nyantai itu masih sering dia lakuin. Suatu hari dia merintahin bawahannya untuk ngerjain tugas yang dia kasih. Dan sampe besoknya, ternyata tugas yang dia kasih ke bawahannya itu ga kelar2 juga. Teguran akhirnya sampe ke sang bawahan. Tapi isinya ya itu tadi, menganggap sang bawahan berkelakuan sama dengannya. Ga ngerjain tugas, tapi malah main2. Malah nyantai2. Dan apapun alasan sang bawahan, dia ga percaya. Dia merasa seperti seorang buaya yang sedang dikadalin sama sang bawahan. Karena dia yakin banget kalo sang bawahan ga ngerjain tugas karena sang bawahan ini malah nyantai2 seperti yang dia tau kalo orang ga ngelakuin tugas itu berarti ngapain. Yaitu seperti dia sendiri.

Inilah yang jadi hal yang sebenernya bener2 salah. Apa bener kalo orang bikin salah, lantas perbandingannya atau dasarnya adalah diri kita sendiri? Kalo kita emang seorang yang sering bikin hal2 buruk entah itu dulu maupun masih, lantas ketika kita ketemu dengan orang yang salah kita lantas menuduhnya ngelakuin hal yang sama seperti kita jika kita dalam kondisi seperti itu?

Tau apa kita dengan hal yang sebenernya terjadi? Gimana kalo alasan yang orang lain berikan itu emang bener adanya? Kaya seorang murid yang ga masuk tapi surat yang dikasih kegurunya itu bukan surat yang tanda tangannya palsu. Hanya karena dulu kita sering bikin surat model begitu, bukan berarti kalo surat tersebut palsu.

Dan seorang atasan juga bukan berarti seorang dukun atau paranormal yang bisa tau begitu aja dan ga percaya akan apapun alasan yang dikemukakan kalo misalnya sang bawahan ga kelar2 ngerjain tugas, karena merasa udah tau banget hal kaya gini hanya karena sering ngelakuin hal2 kaya gini.

Kenapa kita lantas suka ga percaya ama orang lain hanya karena kita ini seorang yang buruk? Kenapa kita lantas menganggap orang lain sedang menipu kita hanya karena kita ini tukang tipu? Kenapa jadi selalu menuduh orang lain hanya karena kita pernah dan masih melakukan hal yang buruk? Kenapa jadi menyama-ratakan gitu?

Kita dulunya atau sekarang masih buruk, ketika ketemu yang gelagat2nya mirip kita, lantas yakin bener kalo dia berkelakuan kaya kita. Karena kita pernah, berarti kita tau? Karena kita kelakuannya buruk, kita tau kalo orang lain itu sama kaya kita? Serupa tapi tak sama, karena kita buaya dan ga mungkin ada kadal yang bisa jadi buaya kaya kita. Padahal belum tentu dia mengkadal2kan buaya seperti kita? Dan kenapa juga kok jadi bangga ama ini ya?

Berpikiran positif aja lah. Dan kalo kita pernah dan masih sering ngelakuin hal yang salah, jangan jadiin diri kita standar dalam menuduh orang lain itu berbohong, ngelakuin kelakuan buruk, atau apa aja. Kita ya kita, dia ya dia. Kalo dia jujur gimana?

“Lo jangan coba2 nipu gue deh! Gue tau lo ngibul! Gue tuh sering tau ngelakuin yang kaya gini! Gue tau yg beginian! Kita sama tukang tipu. Tapi gue labih jago dari lo! Buaya lo kadalin!”

Coba kalo ada jawaban, “Ya itu elo kali. Gue mah jujur. Jangan sama ratain gue ama lo dong?”

Untuk yang ini, kayanya kata ‘kita’ terlalu ngeselin untuk didenger. Kita? Elo kali, gue engga!

Monday, May 5, 2008

Miss. Understanding!


Jaman sekarang banyak banget alat komunikasi yang bikin kita jadi gampang berkomunikasi. Dengan kecanggihan alat2 dan sarana komunikasi kaya gini, kita jadi dengan cepet dan mudah berkomunikasi ama temen kita, keluarga kita, dan lain2. Mulai dari komunikasi yang ga penting2 amat, sampe yang bener2 penting.

Semua alat komunikasi terutama telpon udah semakin canggih. Ya, seperti yang kita tau tentunya, telpon udah bukan hanya bisa diem aja dirumah dengan kabel2nya itu, tapi bisa dibawa keluar rumah, alias handphone. Dan di handphone, kita bisa pake fitur yang ga harus ngomong kalo kita berkomunikasi, tapi cukup lewat tulisan, sms.

Dan lebih luas lagi, ada internet yang bikin kita bisa kirim2 email, dan ber-IM (Instant Messaging) atau lebih populer disebut chatting. Ya, ga harus ngomong, tapi cukup dengan tulisan aja.

Tapi ada satu hal yang sebenernya kadang bisa jadi sangat mengganggu dari komunikasi yang satu itu. Katakanlah mungkin ini adalah sisi buruknya. Kadang2 kita jadi suka salah komunikasi gara2 itu.

Misalnya sms. Kadang kita suka ketik dan ngirim sms dengan tulisan yang sebenernya bermaksud sebagai hal B, tapi keterima oleh sipenerima sebagai hal A. Dan ini ga lain dan ga bukan disebabkan ama satu hal yang disebut intonasi atau nada bicara. Siapa yang bener2 bisa tau secara tepat intonasi seperti apa pesan singkat dalam handphone itu yang dimaksudkan oleh pengirim itu dibaca? Atau apakah sipengirim ngirimin sms dengan intonasi yang ‘begini begini begini’, tapi sipenerima nerimanya dan baca dengan intonasi yang ‘begini begini begini’ juga tapi secara beneeeer bener akurat?

Contohnya gini, misalnya si Andri ngirim sms buat Reni. Isinya: “Ah, ga nyambung!’ tapi dengan intonasi yang seperti orang mengeluh. Mirip2 anak kecil. Dan sebenernya terdengarnya justru lucu. Dan emang ini niat Andri sebenernya. Tapi buat Reni, sang penerima, sms dari Andri itu dibaca dengan intonasi yang berbeda, yang ujung2nya bikin si Reni marah. Ini bukan hanya ga akurat lagi, tapi jauh meleset!

Atau kalo ber-IM. Chatting. Ga jauh beda ama sms, yang ini juga kadang bikin bete gara2 salah intonasi. Mungkin isi pembicaraan pas lagi chatting ga bermaksud yang seperti begini, tapi malah jadi yang seperti begitu, gara2 baca dengan intonasi yang salah dari yang dimaksud. Bisa akhirnya dua orang yang saling asik ngobrol via dunia maya itu malah jadi berantem. Begini malah begitu. Atau bisa juga malah jadi ge’er, padahal ga taunya ga bermaksud nge-ge’er-in. Intinya ya salah intonasi aja.


Nah, dari salah2 intonasi inilah hal2 yang ga diinginkan suka kejadian. Ada dua orang yang hubungannya jadi retak, ada yang merasa dihina, dan semacamnya. Disinilah positive thinking harus dipake. Pikiran yang jernih harus dipake. Baca dengan baik dan intonasi yang ‘berasas praduga tak bersalah’. Pendeknya gitu. Bahwa sms dan chattingan itu tulisan2nya ga bermaksud lantas jadi kasar, terbaca sebagai omelan atau semacam itu.

Ada satu hal lagi, kadang kita juga ngerasa sangat bete sama orang yang dikit2 terima telpon padahal kita lagi ngobrol dengan dia. Dan setiap kita sedang bersama seseorang yang kita rindu sejak beberapa lama, tiba2 ketemu dan ada kesempatan ngobrol, dia malah sibuk nerima telpon ga ada henti2nya. Lagi sibuk berkomunikasi.

Dan ya, kalo dipikir lagi, jaman sekarang yang katanya paling gampang berkomunikasi justru malah membuat orang lain sering salah komunikasi. Salah maksud, salah sangka, dan sebagainya. Dan untuk apa terus menerus berkomunikasi, tanpa menjaga komunikasi yang sesungguhnya untuk tetep beres? Komunikasi untuk silaturahmi, tapi silaturahmi rusak gara2 komunikasi yang salah yang disebabkan oleh alat2 dan sarana komunikasi. Sayang sekali kalo jadinya begini.

Banyak alat komunikasi kok malah jadi susah berkomunikasi. Dan salah berkomunikasi. Misunderstanding gara2 miscommunication.

Ngomong2, miscommunication itu salah satu dari gelar yang ada diacara Miss. Universe bukan ya?

Kalo misunderstanding gimana?


Rasanya gelar ini bisa aja disematkan buat mereka yang pernah atau bahkan sering misunderstanding gara2 miscommunication.

Miss. Communication, Miss. Understanding dan Mister2-nya of course, (kan bukan cewe aja!)… Hahaha…


Monday, April 7, 2008

Siapakah Yang Pantas Dilecehkan?

...


Reda adalah seorang pelacur. Dia biasa tidur dengan lelaki mana saja. Dan tentunya karena dia pelacur, dia dibayar untuk itu. Suatu hari, saat Reda sedang berjalan, ada beberapa orang berandalan yang mencegatnya. Dan akhirnya Reda diperkosa beramai-ramai oleh para berandalan itu. Reda sangat tidak ingin hal ini terjadi. Ia sangat membenci para berandalan yang memperkosanya itu.

Richard adalah seorang gay. Suatu hari, karena sudah larut malam, Richard terpaksa menginap ditempat kost seorang teman laki-lakinya. Dan malam itu saat ia sedang terlelap seluruh tubuhnya digerayangi oleh sang temannya yang ternyata seorang gay juga. Sampai akhirnya ia menyadari ada yang tidak beres sedang terjadi padanya. Dan dia akhirnya marah pada sang teman tersebut.

Seorang penyanyi dangdut bernama Yati biasa menerima order manyanyi dari panggung kepanggung. Dia biasa menyanyi jika ada pesta dikampung-kampung. Dan setiap kali menyanyi, Yati selalu memakai pakaian yang seronok dan melakukan gerakan-gerakan yang menggoda. Suatu kali ketika ia baru saja selesai menyanyi, seseorang menyolek payudaranya. Dan orang itu lantas ditamparnya seketika itu juga.

Hmm, mungkin hal seperti ini sepintas tidak tampak pantas. Seorang pelacur diperkosa, seorang gay dipegang-pegang oleh sesama gay, seorang penyanyi berpenampilan seronok dengan goyangnya yang menggoda tiap kali menyanyi diatas panggung dicolek sembarangan oleh seseorang. Hal seperti ini seperti pantas-pantas saja terjadi. Toh, bukankah memang begitu yang seharusnya terjadi? Toh bukankah memang itu adalah kemungkinan terbesar yang bisa sangat terjadi pada orang-orang ini?

Menjadi pelacur bukan berarti semua orang lantas boleh tidur dengannya. Melacurkan diri adalah menjual diri. Menjual berarti ada sesuatu yang ditukar untuk mendapatkan apa yang orang mau dari sipenjual. Reda memang layak tidak terima keadaan seperti ini. tidak ada kesepakatan, tidak ada perjanjian. Apa yang membuat para berandalan itu boleh menidurinya? Memperkosanya?

Jika Richard marah pada temannya itu sangatlah pantas. Menjadi seorang gay bukan berarti dia pantas diperlakukan seperti yang temannya lakukan pada malam itu, meski mereka sama-sama gay. Memang Richard tidak mengalami kerugian apapun secara fisik atau uangnya lantas raib setelah itu, atau dipaksa membayar ‘jasa’ temannya itu. Tetapi yang dilakukan temannya itu bukanlah hal yang diinginkannya. Dan yang dilakukan temannya itu adalah pelecehan.

Dan tentunya Yati bukanlah orang aneh yang tiba-tiba ada jika ia marah pada sang pencolek kurang ajar itu. Menyanyi dengan pakaian seronok, menari dengan goyangan yang menggoda bukan artinya bahwa ia sedang menginformasikan ke semua orang, ‘coleklah saya’. Itu adalah hal yang berbeda. Menyanyi diatas panggung dan menari bukan berarti ‘saya bebas kamu apakan semaumu’. Diatas panggung ia adalah penghibur. Yang orang liat diatas panggung, ya itulah yang diatas panggung. Titik. Kalau dikatakan sebagai resiko, bukan berarti ia lantas membiarkan begitu saja tanpa ada perlawanan kan? Apakah kita jika tau akan mati maka kita diam saja padahal kita belum mau mati? Dan Yati melakukan hal yang benar dengan menampar orang tersebut.

Pelecehan bukan hanya 'diterima' oleh orang-orang yang dicap sebagai orang yang ‘bersih’ saja. Pada saat orang melakukan hal yang tidak diinginkan oleh sipenerima dan semena-mena, itu adalah sebuah hal yang melecehkan, tidak menghargai, dan tidak pantas diterima. Siapapun korbannya.

Monday, March 24, 2008

Dedicated to Beautiful People (Eeeh...?)


Menjadi seseorang yang ganteng dan cantik adalah suatu hal yang nyenengin. Bahkan nguntungin. Percaya atau engga, banyak kemudahan yang bisa diperoleh gara2 ini. Buktinya dibanyak lowongan kerja umumnya ada tulisan ‘berpenampilan menarik’ sebagai salah satu dari syaratnya. Bahkan banyak orang yang lebih respek ama mereka yang ganteng atau cantik. Yang ganteng bisa aja dilayanin dengan senyuman waktu beli tiket dibioskop. Yang cantik bisa aja duduk ditempat yang enak saat tempat yang lainnya ga begitu nyaman. Dan pastinya satu yang paling umum adalah jadi ganteng atau cantik itu banyak yang naksir. Mudah dijatuhi cinta. Dan mungkin, mudah dapet pacar.Hmm…

Dan kalo siganteng atau sicantik itu sebagai orang yang ditaksir, biasanya mereka malah bisa ‘pasang target’. Alias milih2 yang mana yang bener2 bagus buat mereka. Mereka nentuin kriteria mana yang pantes untuk jadi pacar mereka. Ya, karena mereka emang banyak yang naksir. Jadi bisa milih.

Dan kalo mereka yang naksir seseorang, umumnya mereka gampang dapetinnya. Kan cantik, kan ganteng. Hehe..

Hmm, hal yang sebaliknya sayangnya sering terjadi ama mereka yang ga ganteng dan ga cantik. Bukan bohong kalo beberapa ada yang ditolak gara2 penampilan mereka di tempat kerja. Diperlakukan kurang sopan juga bisa terjadi. Paling engga, senyuman penjual tiket bioskop ga mampir ke pemilik tampang yang ga ganteng. Atau tempat duduk yang nyaman ga beralamat ama si ga cantik.

Atau kadang kita suka menganggap kalo ada orang yang ga ganteng dan ga cantik itu paling aneh kalo mereka mau punya pacar yang kira2 kriterianya kita pikir lebih kayak ‘diatas jangkauannya’.

Dan yang paling ga adil adalah, kalo misalnya ada yang ditaksir ama yang ga ganteng atau yang ga cantik. Ada yang malah suka bete kalo ini terjadi. Ya kan? Well, mereka mungkin bisa aja lalu ditanggapin dengan baik. Tapi ada yang suka nanggepinnya dengan malah bertingkah kurang ajar sama mereka. Ya, karena ngerasa ditaksir dan yang naksir emang ga cakep makanya jadi belagu banget. Ga nganggep gitu. Salah apa mereka yang ga ganteng atau ga cantik itu kalo naksir ama orang? Kan itu hak mereka mau merasa apapun kepada seseorang. Dan karena diperlakukan songong dan sembarangan, mereka akhirnya jadi marah. Ada aja yang akhirnya mikir, “..diih.. sok ganteng banget sih lo! Marah ceritanya? Ga penting!” atau “Kaya cantik aja nih cewe, sok ngambek segala ama gue!”

Atau misalnya kita liat di suatu acara infotainment. Ada seleb yang dapet suami ganteeeng banget. Sementara si seleb ini ga cantik2 banget. Dan akhirnya si seleb yang ga cantik ini malah minta cerai dari si cowok ganteng itu. Kita yang liat sering berujar, “kaya cantik aja nih artis. Udah untung dapet cowo ganteng.” Padahal kita ga tau pasti kalo si cowo yang ganteng itu kelakuannya gimana sampe si artis itu kabur. Pendeknya jadi pertanyaan, emangnya mentang2 ga cantik, ga boleh bete ama yang ganteng?

Atau ada seleb cowo yang tampangnya ga ganteng yang benci banget ama mantan cewenya yang ternyata selingkuh saat mereka masih jadian. Dan dia marah didepan kamera infotainment. Yang ada, ga beberapa lama ada forum diinternet yang isinya umumnya bilang kalo dia ga pantes marah. Dan tololnya, dianggap ga pantesnya dia marah itu gara2 dia ga ganteng. Kurang lebih bilangnya gini, “Itu penyanyi itu ga ganteng aja belagu. Pake marah2 segala. Udah untung ada cewe cantik mau ama dia. Waktu pas denger suaranya sih oke, tapi liat tampangnya gue jadi males! Apalagi marah2 kaya sekarang, makin males!” plus emoticon yang lagi ngamuk dan tomb down.

Bodoh kan?? Emang marah ada hubungannya ama fisik?? Dan kenapa juga harus dihubung2in ama fisik? Picik amat!

Yah, kita emang sebaiknya memperlakukan orang dengan baik lah. Ga usah beda2in. Apalagi bedainnya dari fisik. Waduh.., jangan udah nyebelin terus bego pula! Mau ganteng atau engga, mau cantik atau engga, mereka, kita, ya sama aja. Sama2 manusia. Sama2 layak dihargai.

Jadi kalo misalnya ada yang mukanya ga ganteng dan ga cantik ya boleh2 milih pacar yang bener2 tepat buat dia walau kriterianya ‘tinggi’. Emang kenapa? Ga boleh??

Yang ga ganteng atau ga cantik, ya boleh2 aja naksir ama kita (yang ganteng dan cantik ini). Dan ga perlu bete gara2 ini. Dan kalo emang ga ganteng atau ga cantik yang naksir, bukan kita jadi sembarangan ke mereka kan? Atau kalo yang ga cantik atau ga ganteng ditaksir sama yg ganteng atau yang cantik tapi yang ditaksir itu nolak, ya boleh2 aja. Emangnya mentang2 ganteng atau cantik ga boleh ditolak, gitu?

Dan satu hal lagi, kalo ngerasa ganteng atau cantik, ga usah belagu juga. Itu bukan segala2nya. Emang sih kaya ditulis diatas kalo itu banyak nguntunginnya, tapi kalo emang orangnya nyebelin, ya tetep aja ga ngaruh! Ga akan ada perlakuan yang baik dan nyenengin kalo emang secara fisik bagus tapi kelakuan ga bagus. Paket yang bagus, bungkus yang bagus, tapi isinya ga beres. Karena banyak kan yang ganteng dan yang cantik itu justru yang orangnya nyebelin? Entah karena sering dapet perlakukan baik dan semacamnya. It’s not that all, dude!

Hey, lagi pula kan kita semua pasti diciptain ganteng dan cantik. Masa Dia nyiptain kita asal2an? Kan ga mungkin. Kalo emang kita ga sesuai menurut standar ganteng atau cantik pada umumnya, ya bukan berarti jelek. Yang Maha Sempurna ga mungkin 'salah cetak'. Termasuk ganteng atau engga, cantik atau engga, ya pasti hanya tergantung standar pada umumnya orang disebut cantik dan ganteng, atau standar masing2 orang yang liat.

Hmm, eniwe, anda termasuk yang ganteng atau bukan? Yang cantik atau bukan? Kalo bukan, ga boleh baca tulisan ini. Hahahahaha…